Sabtu, 19 Oktober 2013

KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA

Advokat adalah seseorang yang berbicara atas nama orang lain, terutama dalam konteks hukum. Tersirat dalam konsep ini adalah gagasan bahwa diwakili kekurangan pengetahuan, keterampilan, kemampuan, atau berdiri untuk berbicara sendiri. Setara dengan luas di berbagai jurisdiksi hukum berbasis bahasa Inggris adalah “pengacara”.
Advokat mengabdikan dirinya serta kewajibannya kepada kepentingan masyarakat dan bukan semata-mata karena kepentingannya sendiri. Advokat juga turut serta dalam menegakkan hak-hak azasi manusia baik tanpa imbalan maupun dengan imbalan. Advokat mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat dan demi penegakan hukum yang berdasarkan kepada keadilan, serta turut menegakkan hak-hak asasi manusia. Di samping itu, advokat bebas dalam membela, tidak terikat pada perintah kliennya dan tidak pandang bulu terhadap terhadap kasus yang dibelanya.  Dalam membela kliennya advokat tidak boleh melanggar aturan hukum yang berlaku. Tidak boleh melanggar prinsip moral, serta tidak boleh merugikan kepentingan orang lain.
Advokat dalam menjalankan profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya berpegang pada Kode Etik Profesi dan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 15 UU Advokat). Kemudian di dalam Pasal 26 Ayat (2) UU Advokat juga diatur bahwa advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
Hubungan yang paling mendasar dalam hubungan advokat-klien adalah saling percaya (reciprocal trust). Dalam hubungan tersebut, klien percaya bahwa advokat menangani dan melindungi kepentingannya (klien) dengan professional dan penuh keahlian, memberikan nasihat-nasihat yang benar, serta tidak akan melakukan hal-hal yang akan merugikan kepentingan kliennya tersebut.
Di pihak lain, advokat berharap kejujuran dari klien dalam menjelaskan semua fakta mengenai kasus yang dihadapinya kepada advokat. Advokat juga berharap klien mempercayai bahwa advokat menangani dan membela kepentingan klien dengan profesional dan dengan segala keahlian yang dimilikinya.
Kepercayaan yang diperoleh advokat dari klien menerbitkan kewajiban bagi advokat untuk menjaga kerahasiaan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya. Kewajiban advokat untuk menjaga kerahasiaan dalam hubungan advokat-klien diatur secara tegas baik di dalam UU Advokat (Pasal 19 Ayat [1]) maupun di dalam KEAI (Pasal 4 huruf A).
Dalam hubungan antara advokat-klien mungkin ada yang tidak memiliki hubungan baik. Tindakan advokat yang sebelumnya mewakili anda dalam suatu perkara, kemudian yang bersangkutan mundur sebagai kuasa hukum anda dan berbalik menjadi kuasa hukum bagi lawan berperkara anda pada kasus yang sama, dalam hal ini tidak dibenarkan secara etik. Alasannya adalah dengan menjadi kuasa hukum lawan berperkara untuk kasus yang sama, maka advokat tersebut berpotensi melanggar kewajiban menjaga rahasia klien sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Ayat (1) UU Advokat dan Pasal 4 huruf H KEAI (Kode Etik Advokat Indonesia).
Dalam Pasal 19 Ayat (1) UU Advokat dinyatakan bahwa advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Pasal 4 huruf H KEAI menyatakan bahwa advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara advokat dan klien itu. Jadi, kewajiban advokat untuk menjaga kerahasiaan klien tetap ada walaupun advokat tersebut telah mundur sebagai kuasa hukum atau setelah berakhir hubungan advokat-klien. 
Adapun pencemaran nama baik diatur antara lain di dalam Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi:
(1)        Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2)        Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3)        Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.


Sumber: 
·         hukumonline.com
·         lawyersinbali.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar